Bacalah dengan mengingat Tuhan Yang Esa...
"Pikiran suci, waktu dan kesehatan adalah harta terbesar karunia Tuhan"
Dear pembelajar,
Ilmu Perilaku Konsumen (Consumer Behavior), adalah ilmu yang
mempelajari hal ikhwal tentang perilaku konsumen. Ilmu ini mengungkap rahasia tentang (1). apa yang ada dalam
pikiran konsumen, (2). bagaimana sikap dan pandangan mereka tentang suatu
produk, (3). apa saja faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian
mereka, (4). bagaimana proses pengambilan keputusan pembelian itu berlangsung dan
bagaimana mereka mengambil keputusan
pembelian.
Itulah esensi
ilmu atau mata pelajaran Perilaku
Konsumen. (Maaf, saya lebih suka menyebut ‘mata pelajaran’ ketimbang ‘mata
kuliah’. Sebab makna kata ‘pelajaran’
lebih bisa langsung dirasakan dan dimengerti dibanding kata ‘mata kuliah’)
Jadi, ilmu ini berusaha mengungkap rahasia
yang terjadi dibalik perilaku konsumen, dibalik aksi atau tindakan beli atau
tidak beli. Pertanyaan berikutnya sebelum membahas satu per satu esensi adalah “siapakah
yang memerlukan ilmu ini dan apa tujuan belajar ilmu ini?
Hampir setiap penulis buku Perilaku
Konsumen secara tersurat maupun tersirat menulis buku tersebut untuk
kepentingan pemasaran. Artinya, pembelajar yang mereka harapkan adalah para
dosen dan mahasiswa yang dipersiapkan menjadi praktisi bisnis, atau mereka yang
berminat berpraktik bisnis, para calon pemasar, manajer pemasaran dan para
pemasar.
Para pembelajar perilaku konsumen
diberitahu rahasia besar dibalik keputusan pembelian, sehingga mereka
mempelajari itu, memahami itu dan mampu memanfaatkan itu untuk kepentingan
pemasaran (produk apapun).
Dalam lebih dari 20 tahun perjalanan
pembelajaran bidang manajemen pemasaran bersama para mahasiswa, ada satu
perasaan tidak nyaman yang muncul dalam diri saya. Semula saya tidak mengerti
apa yang membuat perasaan asing/aneh di dalam diri saya, sepanjang pembelajaran
tersebut. Baru beberapa tahun belakangan, saya “mendapat jawaban” atas perasaan yang tidak nyaman, yang selama itu
mengganggu pikiran saya. Yaitu, ketika saya mengamati cukup banyak fakta menyedihkan
sebagai efek dari pesatnya perkembangan dunia pemasaran.
Fakta menyedihkan itu adalah: meningkat
pesatnya pola hidup konsumtif dan semakin lemahnya bargaining power konsumen, sehingga mereka kemudian menjadi sosok
yang “iya-iya saja terhadap serangan pemasar, baik berupa produk fisik maupun
yang baru saja berupa advertensi”.
Fenomena ini membuat saya berpikir keras. Pasti ada yang salah dengan proses pembelajaran ilmu ini. Saya berpikir tentang apa yang bisa saya sumbangkan kepada dunia keilmuan terkait dengan apa
yang saya pelajari, Sebab inilah tugas dan kewajiban sejati dari bagian civitas akademica perguruan tinggi, yaitu tri dharma (penelitian, pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat).
Perguruan tinggi tidak bisa mengelak bahwa mereka (diakui atau tidak) turut berkontribusi dalam mengajarkan komersialitas dan menyemarakkan pola hidup konsumtif, melalui mata pelajaran tertentu.
Relevan dengan hal tersebut, saya mencoba mengubah porsi
pembelajaran. Jika dahulu 100% orientasi belajar pemasaran dan perilaku
konsumen adalah untuk bekal merumuskan strategi pemasaran dan strategi persuasi
pasar agar pasar potensial bisa diubah menjadi pasar aktual,
maka---sekarang---setelah menyaksikan fakta lapangan praktik tingkah para
pemasar sudah melampaui batas (sangat variatif dan nyaris tidak terkendali)-----,
sebagai tanggungjawab profesi, saya harus berbuat sesuatu.
Lima puluh persennya harus menyentuh wilayah internal (pikiran dan intelek), karena di situlah letak keputusan dibuat, tidak masalah, apakah mereka akan memutuskan menjadi pemasar nantinya, ataukah mereka akan memilih menjadi konsumen (pasti tak bisa dihindari). Sebagai pemasar, bagaimana seharusnya berperilaku dan sebagai konsumen, bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Perilaku dibangun dari wilayah terdalam, yaitu pikiran dan intelek.
Apalagi melihat kondisi sekarang ini, hiruk pikuk dunia pemasaran telah berhasil merancukan
pemahaman konsumen tentang arti kebutuhan (keperluan) dan keinginan (hasrat). Konsumen
tidak lagi merasa perlu menanyai dirinya sendiri “ini (produk/jasa) benar-benar saya perlukan atau
ini sekedar hasrat/keinginan saya saja?”.--- Dan 90% waktu dalam kehidupan mahasiswa
adalah terkait dengan pengambilan keputusan sebagai konsumen (walaupun ada sebagian mereka melakukan kegiatan pemasaran, di sisi lain, mereka juga berperan sebagai konsumen).
Jika demikian, apakah belajar ilmu memasarkan
tidak lagi penting? Apa hubungan pelajaran Perilaku Konsumen dengan pikiran dan intelek? Apa jadinya jika pikiran dan intelek tidak dibuka? Untuk mendapatkan jawabannya, ikuti tulisan berikutnya!
Terima kasih telah membaca. Don’t forget to
remember God.
No comments:
Post a Comment