Bacalah dengan mengingat Tuhan,
“Ciri pengetahuan sejati adalah Memberi Pencerahan”
Dear
pembelajar,
Menjadi
pengampu mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar, sama sekali tidak pernah menjadi
angan-angan saya. Sampai suatu ketika, pimpinan menginginkan agar ISBD
diajarkan dosen internal (bukan dari luar). Saya sama sekali tidak menduga
bahwa kawan-kawan mengusulkan saya untuk memegang matkul tersebut.
Setelah
saya pelajari, ternyata isi ISBD adalah terdiri dari Ilmu Sosial dan Ilmu
Budaya Dasar. Di dalamnya, mengandung materi tentang manusia itu
sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk social---lalu ada asal
muasal budaya, permasalahan budaya, permasalahan-permasalahan social yang
dijelaskan fenomenanya dan dikaji secara mendalam, agar mengerti apa sejatinya persoalan
mendasarnya dan mengerti bagaimana menyelesaikannya.
Baru
mulai belajar tentang manusia saja sudah menarik bagi saya dan juga bagi
mahasiswa. Ketika bicara bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga, bukan
membahas hal raga-nya yang menarik, tetapi membahas sang jiwa. Just like a miracle! Tuhan antar saya ke
dalam peran menjadi pengajar ISBD yang di dalamnya justru menyinggung ruang terdalam
dari manusia (yaitu jiwa dan ruang jiwa).
Buku
acuan yang saya gunakan adalah buku ISBD yang ditulis oleh RH. Ada satu
statement yang membuat saya mengernyitkan dahi ketika beliau mengatakan bahwa “….
Raga tanpa jiwa adalah mayat dan jiwa tanpa raga adalah setan atau jin.”
Saya tak memandang salah. Beliau pasti punya alasan menulis itu. Setiap yang ditulis pasti bersumber dari pengetahuan dan pengalaman beliau sebelumnya.
Demikian juga saya yang secara kebetulan mendalami
hal-ikhwal tentang jiwa, perjalanan jiwa dan Tuhan dari sisi Spiritual
Knowledge. Agak beda pandang. Bahwa jiwa based
on spiritual knowledge adalah titik cahaya, yang berasal dari Tuhan. Dalam diri
manusia ada sang jiwa yang karakter aslinya adalah illahiah, seperti karakter
Tuhan.
Dengan
demikian, aslinya setiap jiwa yang ada dalam tubuh adalah baik, positif, penuh
cinta kasih, damai, suci dan benar. Ia menjadi berubah buruk sejak memilih
mengikuti iblis dibanding Tuhan. Tak satupun jiwa yang lahir dengan karakter buruk.
Maka
kalau mau dunia luar beres tidak ada persoalan, yang utama harus dibereskan
terlebih dahulu adalah sang jiwa yang ada di dalam setiap tubuh bernama
manusia.
Pembahasan
tentang jiwa ini rupanya sangat menarik perhatian para mahasiswa. Mereka bertanya
apakah mungkin kita kembali meraih karakter asli itu? Saya jawab, sangat
mungkin! Caranya adalah nge-charge. Kita
ambil power itu dari Tuhan dan kita
gunakan untuk melepaskan sifat-sifat buruk kita. Dengan berlatih secara regular,
ini akan mendapatkan hasil. Sebab saya sendiri telah mengalaminya. Karena
sangat kecil kemungkinan menjadikan orang lain sebagai obyek eksperimen, maka
saya harus terjun sendiri menjadikan diri saya sendiri sebagai obyek dan subyek
eksperimen saya tentang efek dari meditasi (charging).
Yaitu, menghubungkan diri dengan Tuhan dan lalu mengambil power dari
Beliau.
Dahulu
saya tidak mengerti apa itu meditasi. Satu-satunya yang saya tahu adalah bahwa
meditasi adalah ajaran sesat. Tetapi setelah saya masuk dan belajar, saya
kemudian menjadi mengerti bahwa meditasi berasal dari akar kata Latin, medery, yang berarti healing (penyembuhan diri). Sembuh dari
apa? Sembuh dari sifat-sifat Iblis, seperti amarah, ego, serakah, kemelekatan,
nafsu, kebencian, kemalasan dll.
Di
sinilah mulai terjadi eksplorasi pikiran. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan
tentang jiwa yang mereka ajukan kepada saya. Baik kaitan jiwa dengan badan,
kaitan jiwa dengan Tuhan dan kaitan jiwa dengan agama.
Satu
diantara sekian pertanyaan bagus itu adalah “Apa pendapat/pandangan ibu tentang
seseorang yang pindah agama?”
“Hmm…manusia
hidup harus punya tujuan. Tujuan hidup saya sangat tinggi, yaitu bertemu Tuhan
dan kemudian terus terhubung dengan-Nya agar saya selamat. Karena hanya Tuhan yang
mampu membimbing saya ke arah yang benar. Bukan manusia, bukan juga benda-benda
fisik yang tidak abadi.
Jika selama perjalanan ini, pikiran saya tidak fokus
dan mata saya meleng terpesona oleh
tingkah-laku orang lain yang sulit saya mengerti, maka yang terjadi adalah ‘kecelakaan ruhani’. Tangan saya terlepas dari tangan Tuhan. Bagaimanapun, setiap
jiwa akan mengalami saat (momen) yang tepat dimana ia mengalami perjumpaan
dengan Tuhan.
Tentang
seseorang yang pindah agama, saya tidak berpendapat untuk itu. Sebab
Tuhan melarang untuk menganalisis, mengkritik, berpendapat apalagi menyimpulkan
kehidupan (keyakinan) orang lain hanya berdasar penglihatan mata fisik saya. Penglihatan mata fisik ini sangat-sangat terbatas.
Kejahatan
dan keburukan berantai yang dinamakan sebagai persoalan-persoalan sosial yang kita bahas dalam ISBD ini, adalah produk dari analisis, kritik, pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang kita buat (collectively), berdasarkan penglihatan mata fisik yang kemampuannya sangat-sangat
terbatas. Termasuk mengkritisi keyakinan orang lain kepada Tuhannya.
Yang bisa saya sampaikan hanyalah----Faktanya di dunia ini, ada orang-orang yang sudah berjumpa dengan Tuhan, walaupun mereka tidak punya stempel agama. Ada orang-orang yang beragama sekaligus mampu mengenal Tuhan, sehingga pikiran, kata-kata dan perbuatannya menyejukkan dan mendamaikan.
Sementara di sudut yang lain dunia ini, ada orang-orang yang walaupun sudah beragama, tetapi belum 'berjumpa' dengan Tuhan. Oleh karenanya, perilakunya sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka telah mengenal Tuhan. Pikirannya jauh dari kesejukan, kata-katanya cenderung melukai orang lain dan perbuatannya jauh dari nilai-nilai ketuhanan (kemuliaan). Mereka tidak pernah puas dalam hidup dan lebih memilih permusuhan dari pada persaudaraan.
Demikian,
semoga manfaat.
Terima
kasih.
No comments:
Post a Comment