Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu,
Mengapa setelah pintar mengaji, setelah pandai membaca kitab, setelah pandai berdandan kemudian mampu berubah menjadi para pembenci kepada mereka yang tidak sama dengan kita? Bahkan berubah menjadi penuh ego dan merasa paling benar?
Dear pembelajar,---------
"Apakah ibu Islam?" Pertanyaan ini kerap ditanyakan mahasiswi/a. Jika tidak bertanya pada awal mengenal saya, nanti pada saat punya kesempatan berbincang-bincang dengan saya, mereka baru mengaku kalau selama bertahun-tahun memendam pertanyaan itu.
Nah setelah menjadi lebih dekat mereka mengatakan:
“Beneran!
Saya kira ibu ini, Hindu…!” atau
“Swear mom! Saya kira non muslim, macam
Kristen atau Katolik gitulah..pokoknya…”--- Kata mereka.
Dan
inilah jawaban setelah sengaja bertanya tentang faktor apa yang menyebabkan
mereka ragu-ragu saya ini Islam apa bukan:
- Bahwa saya tidak berjilbab,
- Bahwa pakaian saya tidak umum, tidak sama seperti mereka (yang muslim). Saya memang nyaris selalu mengenakan pakaian putih dan kerudung putih yang tidak menutup seluruh kepala. Kadang saya kalungkan menutup separuh badan bagian atas, kadang saya menggunakannya sebagai kerudung walaupun rambut putih ini masih terlihat. Berkerudung ala orang Jawa Timur generasi lalu. (Putih hanya untuk mengingatkan saya kepada kematian).
- Bahwa bicara saya selalu bermuatan cinta kasih- belas kasih… macam ajaran Katolik/Kristen (versi mereka, sebab mereka sendiri rancu antara Katolik dan Kristen),
- Bahwa saya jarang menyebut Tuhan dengan kata “Alloh” atau “Awloh”, tapi saya cenderung menyebut Tuhan dengan sebutan Tuhan (saja).
Hmm…Dahulu
ketika belum begitu mengenal Tuhan (walaupun beragama), kepada yang tak se agama, saya kadang memaksa diri saya agar memandang salah mereka. Namun
setelah perlahan belajar mengenal Tuhan lebih dekat, baru saya mengerti. Ternyata Tuhan begitu baik. Tuhan begitu
konstan, damai, tenang dan tidak setitikpun memiliki kebencian. Pasti karena
itulah Beliau begitu berkilau dan powerful. Selalu dicintai, dikasihi, dan
dirindu-rindukan kehadirannya oleh banyak jiwa.
Jadi, kepada mereka yang penasaran apa agama saya, saya ingin mengatakan
“Apapun
agama kita di KTP, marilah bergerak meninggi. Bergerak meninggi menuju Tuhan. Kita juga perlu belajar kecantikan, keindahan hati dan kemuliaan yang
diajarkan dan dicontohkan oleh Tuhan sendiri. Mari belajar dari Tuhan cara-cara
mencintai, cara-cara mengasihi dan cara-cara merespon kehidupan.
Bila memperhatikan ciptaan Tuhan yang lain. Nanti kita pasti akan menjadi malu. Mereka jauh lebih paham apa-apa yang diajarkan Tuhan. Tanpa menanyai apa agama kita, matahari memberi, bulan memberi, bintang memberi, laut, langit dan bumi pun memberi. Tetumbuhan
juga memberi daun, biji, bunga, buah dan keteduhan tanpa memandang agama apakah yang boleh mengambil manfaat darinya.”
Suatu ketika jelang subuh, di google
search saya mengetik frase “Islam means..” Terbaca
disana:
“…. Islam is derived
from the Arabic root “Salema”: peace, purity, submission and obedience. (Islam
berasal dari akar kata Arab “Salema” yang bermakna: damai, kesucian, pasrah/berserah
total dan kepatuhan).
Nah. Itulah sebabnya saya enggan menjawab setiap ada pertanyaan apakah saya Islam atau bukan. Walaupun dalam KTP saya tertera demikian.
Jika benar makna Islam itu seperti itu, saya masih perlu bertanya:
Adakah saya sudah menjadi Islam? Atau saya hanya sekedar ber-KTP (agama)
Islam?
Adakah saya selalu damai walau apapun
terjadi? Adakah saya memelihara kesucian
pikiran, kata-kata dan perbuatan saya? Adakah saya ini jiwa yang betul-betul
mampu total berserah kepada Allah, Tuhan saya? Adakah saya ini mampu patuh kepada
Beliau?
Memandangi Kalandra, cucu saya yang masih berusia 1,5 tahun,
saya jadi ingat bayi-bayi di dunia. Siapa
di dunia ini yang tidak damai, tidak menjadi penuh belas
kasih memandang bayi-bayi? Bayi-bayi belum belajar agama, namun semuanya total percaya dijaga
Tuhannya.
Lihatlah…
Bayi-bayi
tidak pernah punya pikiran buruk. Pikirannya suci, celotehnya suci,
perbuatannya suci..Semuanya suci tanpa prasangka, tanpa mencela, tanpa merasa paling benar sendiri. Atau sesekali
rasakan bagaimana atmosfera dalam ruang-ruang bayi di Rumah Bersalin.
Dimanapun
bayi-bayi berada, atmosfera di sekelilingnya selalu menjadi penuh kasih. Mereka tiada pernah bertanya tentang agama orang-orang sekitarnya. Walaupun demikian, semua mendapat bagian vibrasi cinta yang sama. Tidurnya damai, senyum dan tawanya ceria. Setiap gerakannya menarik perhatian kita untuk segera datang memberikan kasih yang paling tulus.
Kita
dahulu juga seperti itu…pernah menjadi bayi-bayi seperti itu…Kita pernah mampu
menciptakan atmosfera kedamaian melalui vibrasi-vibrasi kesucian yang kita
dapat dari Tuhan. Semua kita beri pandangan suci tanpa buruk sangka. Dan itu
memberi kebahagiaan dan menimbulkan keindahan kepada hati semua orang yang
mendekat.
Lalu
sekarang kemana perginya semua kemuliaan illahiah itu?
Mengapa
setelah pintar mengaji, setelah pandai membaca kitab, setelah pandai berdandan kemudian
mampu berubah menjadi para pembenci kepada mereka yang tidak sama dengan kita? Bahkan
berubah menjadi penuh ego dan merasa paling benar?
Seharusnya
tidak demikian, bukan?
Thanks
God, Guru and those who like this article.
Selalu senang baca tulisan2 mbak Aridha
ReplyDelete