Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu:
“Kebahagiaan manusia adalah bergerak menuju tempat yang lebih tinggi, mengembangkan bakat-bakatnya yang lebih tinggi,memperoleh pengetahuan tentang hal ikhwal yang lebih tinggi dan yang tertinggi, dan bila mungkin, bertemu dengan Tuhan. Bila manusia tak mengerjakan tugas-tugas ini, maka berarti ia bergerak menuju kepada yang lebih rendah, dan hanya mengembangkan bakat-bakatnya yang lebih rendah, sehingga ia pun menjadikan dirinya sendiri tak bahagia, bahkan mungkin putus asa.” (filsafat klasik)
Semalam, pembelajaran (Spiritual) Marketing Management bersama
mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas 45 Surabaya begitu menarik. Selepas doa
bersama dan pembagian kelompok diskusi, saya membuka perkuliahan dengan
menyerahkan telinga saya kepada para mahasiswa. Saya mengambil peran mendengarkan
saja pengalaman mereka terkait dengan
pemasaran dan perilaku konsumen.
Saya katakan, “Kita telah cukup banyak
mempunyai pengalaman hidup terlibat dengan aktivitas pemasaran, baik sebagai
pemasar, sebagai konsumen, maupun sebagai korban praktik pemasaran. Sekarang,
saya ingin mendengar langsung dari Anda, apa yang pernah Anda alami. Anda boleh
menceritakan pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan”.
Opik yang mendapat giliran
pertama, berkisah:
“Saya bekerja di bidang
pendidikan (SD). Kami mengalami beberapa kendala. Pertama adalah kendala membangun
komunikasi efektif dengan para orang tua murid. Pasalnya, sebagian besar
mereka, tidak mengerti baca tulis. Mereka pasrah total kepada kami (sekolah) tentang
bagaimana jalannya pendidikan putra-putri mereka.
Persoalan ke dua adalah cara para
orang tua memersepsi kata “PENDIDIKAN GRATIS” yang selalu didengung-dengungkan
pemerintah. Bagi mereka, gratis ya
gratis! Oleh karenanya, ‘biaya’ (uang) sebagai bagian konsekwensi dari
terlaksananya pendidikan yang berkualitas, menjadi sangat sensitif
untuk dibicarakan dengan mereka. Faktanya, tidak seluruh kebutuhan selama proses
pendidikan berlangsung, sanggup ditanggung pemerintah.
Kami berposisi di kaki Suramadu. Jangankan
bicara tentang biaya, bicara tentang kerjasama saja susah. Bila di tempat lain,
para orang tua masih bisa diharapkan kerjasamanya dalam mempercepat kemajuan
pembelajaran anak, di sini sulit sekali! Maksud saya begini, selepas sekolah, seharusnya
kan tanggung jawab ada di tangan orang tua. Tapi ini sulit terwujud. Kami tidak
bisa berharap kerjasama mereka untuk ikut terlibat dalam kemajuan belajar
putra-putri mereka. Nyaris seluruh PR tidak pernah dikerjakan di rumah. Di luar sekolah, anak-anak menjadi liar. Bagaimana orang tua bisa mendampingi pembelajaran, sementara mereka sendiri tidak bisa baca tulis?
Bukan hanya itu, pemahaman yang
terbatas dari para orang tua tentang wajib belajar mempunyai dampak yang tidak
menggembirakan. Wajib belajar dipersepsi sebagai wajib belajar di sekolah saja,
sedang di rumah tidak wajib. Sikap permisif
ini membuat anak cenderung nakal dan abai terhadap tanggung jawab.”
Itu cerita Opik. Sekilas tampak taka
da hubungannya dengan manajemen pemasaran. Tidak ada persoalan dengan jumlah murid.
Siswanya lumayan banyak. Artinya, tidak perlu promosi pun sudah dapat murid. (Walaupun
sebenarnya promosinya nebeng
pemerintah lewat jargon pendidikan gratis).
Opik tampak telah mengenal definisi produk yang disinggung di sini,
sehingga membawa kasus ini ke dalam kelas pemasaran.
Lalu apa jawaban saya untuk kasus
tersebut?
Apa pula jawaban saya untuk beberapa
pengalaman telah diungkap oleh Aditya Arya, Zainal, Delfi, Putu, Dwi, Samantha,
Arista, Putri, Okky, Mailina, Anggar, Bagas dan Bagus?
Ringkas pertanyaan mereka adalah, mengapa saya begini dan mengapa mereka begitu.
Untuk kasus Opik, juga kasus lain
yang dikemukakan oleh beberapa kawan lainnya seperti:
Bagaimana mencapai target
pemasaran tanpa harus melakukan kebohongan, bagaimana mempertahankan kejujuran
dalam persaingan ketat merebut hati pelanggan, bagaimana mengatasi pedihnya
perasaan saat dikomplain dan dimaki pelanggan dan atau boss, bagaimana
menghadapi pedihnya perasaan dalam melayani konsumen yang bossy….
maka, dalam kaca mata spiritual
marketing, harus saya sampaikan bahwa value (nilai-nilai luhur/illahiah) itu penting Anda miliki supaya ada pembeda antara Anda dengan yang
lain.
Selain itu, beberapa pertanyaan-pertanyaan saya berikut adalah juga merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Anda: (maka, jawablah!)
- Seberapa dalam penghayatan Anda dan orang-orang dalam perusahaan tempat Anda bekerja, terhadap misi perusahaan/organisasi tempat Anda bekerja?
- Pernahkah Anda membaca misi perusahaan tempat Anda bekerja?
- Apakah perjalanan bisnis sejauh ini selaras dengan misi tersebut? Jangan-jangan, perusahaan tidak mempunyai misi yang jelas. Jangan-jangan, misi hanya merupakan rangkaian panjang kata-kata yang hanya menjadi dekorasi dinding dan dekorasi leher saja. Atau, jangan-jangan orang-orang di dalam sudah melenceng jauh dari misi. (Untuk bisa berjalan baik harus ada arahan/guidance, jika tidak, Anda akan tersandung-sandung).
- Bagi Anda yang gamang terhadap realita (yang dipaksakan) bahwa untuk mencapai target dan memenangkan persaingan, (value) kejujuran harus diabaikan/diinjak-injak dalam kondisi yang sangat kompetitif seperti sekarang ini, bagi Anda yang masih suka mengalami ketersinggungan, kepedihan dan merasa terhina oleh sikap/perilaku konsumen, bagi Anda yang takut dikeluarkan dari perusahaan oleh sebab mempertahankan nilai-nilai luhur, maka renungkanlah pertanyaan tingkat tinggi ini! : “Siapakah sejatinya saya? Dan apakah sejatinya misi saya dalam kehidupan ini?”.
Hal yang kita bicarakan ini, relevan dengan materi Strategic Marketing Plan yang akan kita diskusikan pertemuan
berikutnya. Akhirnya, saya harus katakan kepada Anda, quote berikut ini bagus,
bacalah!
“Kebahagiaan manusia adalah bergerak menuju tempat yang lebih tinggi, mengembangkan bakat-bakatnya yang lebih tinggi,memperoleh pengetahuan tentang hal ikhwal yang lebih tinggi dan yang tertinggi, dan bila mungkin, bertemu dengan Tuhan. Bila manusia tak mengerjakan tugas-tugas ini, maka berarti ia bergerak menuju kepada yang lebih rendah, dan hanya mengembangkan bakat-bakatnya yang lebih rendah, sehingga ia pun menjadikan dirinya sendiri tak bahagia, bahkan mungkin putus asa.” (filsafat klasik)
Sebagai tambahan baca artikel "Tujuan Hidup Level Rendah" --- di sini
Terima kasih, salam bahagia dan terus berkarya!
No comments:
Post a Comment