Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu,----
“Yang
tidak mengenali diri sejatinya, ia tidak pernah merdeka”
(Aridha Prassetya)
Dear
pembelajar,
Suatu ketika usai rapat, seorang kawan
bertanya tentang apa yang saya kerjakan diluar kegiatan kampus. Saya bilang
padanya bahwa saya sedang menulis. Ia lantas ingin mengetahui lebih jauh
tentang apa yang saya tulis. Dari sanalah kemudian kami bicara tentang spiritualitas.
“Saya berupaya menulis
kaitan-kaitan spiritualitas dengan topik-topik
yang saya tulis. Artinya, bila saya sedang menulis topik kepemimpinan, maka itu
haruslah kepemimpinan spiritual. Jika
saya menulis tentang marketing, maka
itu haruslah tentang spiritual marketing…”,
kata saya.
Ia tampak makin tertarik, namun
sayangnya waktu sudah terlalu larut sehingga kami harus pulang
meninggalkan kampus. Saya ingat betul bahwa perbincangan kami baru sampai pada tahap
mendefinisikan kata spirit. Saya ingat betul, pertanyaan terakhirnya, yaitu “Apa sih sebetulnya makna spirit?”
Kamus English-Indonesia mendefinisikan spirit sebagai roh, jiwa, dan
semangat. Apa yang Anda pikirkan saat Anda membaca definisi yang saya sebut
barusan? Bahwa spirit adalah roh,
jiwa, semangat dan bahkan, ada pula yang memaknai roh sebagai arwah, apa yang
terbersit dalam benak Anda? Lebih jauh lagi saya pernah berbincang dengan
seorang kawan, bahwa dalam agamanya, kata “roh” pun mempunyai makna berbeda
ketika ditulis dengan diawali R dan r. Tapi bukan ini yang
ingin saya bicarakan.
Kali ini, saya hanya ingin bicara
tentang spiritualitas. Mengapa? Sebab
saya yakin, Anda pernah mendengar frasa “kecerdasan
spiritual” dan itu pasti ingin Anda pelajari lebih jauh, kan? Bagaimana membangun
kecerdasan spiritual? Saya akan mengajak
Anda mempelajari tentang spiritualitas dari
sisi yang sangat mungkin belum pernah Anda dapatkan dari sumber lain.
Apapun agama yang kita anut, ketika kita
merasa terinspirasi untuk hidup lebih spiritual,
kita pasti lebih meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Tuhan. Kita akan berupaya
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Kita mencari bimbingan yang lebih tinggi dan
paling tinggi.
Nah, bimbingan paling tinggi itu ada pada tangan sesuatu yang tadi
kita bicarakan sebagai spirit. Pencarian bimbingan ini
pastilah bukan perjalanan ke luar, tetapi adalah sebuah perjalanan ke dalam
(diri). Inilah perjalanan spiritual.
Perjalanan yang berupaya mendekatkan diri kepada sesuatu yang (bersifat) spirit.
Kita mencari bimbingan yang paling
tinggi kepada sesuatu yang berwujud spirit (baca kembali definisi spirit!).
Itulah sebabnya kehidupan yang sangat dekat dengan Tuhan, dinamai dengan
kehidupan spiritual. Coba kita renungkan
seperti apa dan bagaimana sejatinya, bentuk/wujud dari Tuhan. Sambil mengingat definisi kata spirit yang saya paparkan tadi .
Kehidupan spiritual adalah kehidupan yang senantiasa mempraktikkan keyakinan,
BUKAN sekedar berkata-kata tentang keyakinan. Spiritualitas memang bisa saja berangkat dari agama/keyakinan,
namun yang mempunyai agama belum tentu
memilih hidup spiritual (hidup berdekatan
dengan Tuhan).
Sering kita kesulitan membedakan
antara agama dan spiritualitas. Seseorang bisa saja
pergi ke rumah ibadah secara teratur, pada hari tertentu, namun dalam kehidupan
sehari-harinya, tidak menunjukkan aspek-aspek spiritual.
Ada sebagian kita yang
sangat kuat terikat dengan dogma-dogma religius. Saking kuatnya keterikatan, sampai-sampai dogma ini
menghalangi pemikiran rasional, cenderung menyukai mengambil sudut pandang kaku, selalu memilih pendekatan
hitam putih dalam hidup.
Tanpa disadari bahwa beragama/berkepercayaan secara kaku
tanpa merenungkan aspek-aspek spiritualitas dapat memunculkan sikap bertolakbelakang dengan cara-cara Tuhan mencintai ummat. Bertolak belakang
dengan bagaimana Tuhan mempraktikkan cinta dan kecintaanNya kepada seluruh
ummatNya.
Spiritual
“melampaui”
kepercayaan yang dipegang, melampaui agama yang dipeluk. Spiritualitas adalah tingkah laku. Spiritualitas adalah tindakan. Kecerdasan spiritualitaslah yang membantu
mengubah atau mewujudkan (ajaran) kepercayaan/agama kedalam tindakan/perilaku/perlakuan
kepada sesama dalam kehidupan sehari-hari.
Bukti spiritualitas ditunjukkan melalui cara-cara kita memperlakukan
sesama makhluk, baik itu manusia, binatang maupun tetumbuhan dan alam semesta. Jadi spiritualitas bukan dikatakan tetapi
dibuktikan.
Berpura-pura mencintai Tuhan dan mengasihi
sesama ketika berada di rumah ibadah, namun begitu kaki melangkah keluar meninggalkan
rumah ibadah, justru berbalik sikap, mengutuk kelompok lain yang tidak sama warna
dengan dirinya, jelas tidak menunjukkan spiritualitas.
Berpura-pura menangis kepada Tuhan, memohon
ampun dalam rumah ibadah, pada hari tertentu, namun pada lima atau enam hari
berikutnya berbuat keburukan-keburukan, berbuat kekasaran-kekasaran, melakukan
kejahatan-kejahatan serta berbuat kebengisan-kebengisan lagi untuk dimintakan
ampun kemudian pada minggu berikutnya, ketika saat tiba hari harus datang
kembali ke rumah ibadah, jelas tidak menunjukkan spiritualitas.
Spiritualitas adalah praktik atau tindakan. Bicara spiritualitas
adalah bicara tentang bagaimana mempraktikkan ajaran kepercayaan/agama kedalam
kehidupan sehari-hari.
Spiritualis
bukan hanya gemar memperhatikan
dan mempelajari bagaimana cara Tuhan mencintai dan mengasihi, namun juga berupaya
“meniru” cara-cara Tuhan mengasihi dan mencintai ummatNya.
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih
kepada Allah Yang Maha Kuasa. Terima kasih kepada para guru yang menginspirasi. Salam
bahagia dan terus berkarya!
selamat malam, ibu saya sedang menyusun skripsi mengenai kepemimpinan spiritual, apa saja indikator yang digunakan untuk penelitian kepemimpinan spiritual?
ReplyDeleteterima kasih sebelumnya